Penjualan Kolektif

Jika anda dapat peluang mendapatkan kerjasama pembelian secara kolektif dari instansi atau perusahaan atau tentara, dengan menggunakan fasilitas Bapetarum atau Asabri atau Jamsostek, maka saya ingin menyampaikan beberapa hal sebagai berikut;

STATEMENT;
9 dari 10x peluang yang anda dapatkan adalah 'pepesan kosong' belaka.

Jika anda benar-benar dapat 1x yang bukan pepesan kosong, maka TIPS dari saya adalah sbb;

BUAT MOU TRIPARTIT
Buatlah MoU 3 pihak antara anda selaku pengembang, dengan perbankan (misal; BTN), ditambah perusahaan/instansi pemberi order.

Klausul-klausul dalam MoU;

1. Membuka escrow account

2. Pemberi order memasukkan titipan Uang Tanda Jadi senilai 1juta x jumlah rumah pesanan.
3. Titipan UTJ tetap berada di escrow tanpa bisa diapa apakan oleh anda selaku pengembang. Jadi titipan UTJ mereka utuh.

4. Membuat kesepakatan terlebih dahulu soal lokasi yang direkomendasikan serta harga rumah sesuai type yang diorder dan jumlah total uang muka yang akan dibayar.

5. Anda juga ikut menitipkan uang senilai 50% x jumlah total UTJ yang dititipkan di escrow. Disebutkan sebagai 'trust fund'.

6. Anda diberi waktu maksimal 12 bulan untuk membebaskan lahan dan mengurus perijinan. Ingat; harga perolehan lahan harus disesuaikan dengan harga jual yang sudah disepakati.

7. Jika lahan sudah dikuasai dan perijinan terbit (Ijin Lokasi, siteplan, IMB) maka titipan UTJ di escrow baru bisa dicairkan alias dipindahbukukan ke rekening anda sebagai uang muka.

8. Jika anda wanprestasi, dan dalam waktu 12 bulan gagal membebaskan lahan dan mengurus perijinan, maka trust fund milik anda yang ada di escrow hangus sebagai sanksinya dan otomatis menjadi milik pemberi order.
Itulah bunyi klausul-klausulnya. It's fair. Sama sama membagi resiko. Tak jelas mana ayam dan mana telor yang duluan. Jangan mau ketidakpastian tidak berpihak kepada anda.

Jika pemberi order tak mau kondisi tersebut dan minta anda yang berjudi untuk membebaskan lahan dan mengurus perijinan terlebih dahulu, berarti semua resiko ada di pihak anda. Satu kalimat; MAAF, kami tak jadi beli, bisa memberi mimpi buruk buat anda.

Karena itu, tanpa kondisi seperti tips saya diatas, lebih baik abaikan saja peluang tersebut.
Selengkapnya >>

Pembayaran PPN

Buat rekan rekan yang dapat MPT (Mitra Pemilik Tanah) berupa sebuah PT dengan proyek macetnya, lalu dikerjasamakan dengan kita (berbadan hukum PT juga), hati-hati soal perpajakannya, supaya tidak terjadi kasus seperti yang saya ceritakan dibawah ini;

#1. PROYEK MACET

Setting time; Tahun 2008

PT COBA COBA PROPERTINDO (CCP) yang berstatus pengembang coba coba (ownernya sebenarnya pebisnis otomotif) membeli lahan 3 ha. Tapi karena diserahkan kepada Project Manager yang unqualified dan tak memiliki Action Plan yang jelas, maka proyek terbengkelai saat baru dibangun satu blok saja. Semua ijin sudah turun, termasuk sertipikat sudah pecah.

#2. MENDAPAT MITRA

Owner proyek macet kemudian mendapat mitra seorang mantan Project Manager perumahan yang dimodali oleh mertuanya yang kaya raya, yang akan meneruskan proyek tersebut. Yaitu dengan cara mendirikan PT baru (PT. SEMANGAT BARU PROPERTINDO), dimana PT CCP mendapat share 40%, dan pengelola yang sekaligus bertindak sebagai pemodal mendapat share 60%. Skenario legal adalah melakukan PPJB, dimana PT SBP membeli lahan milik PT CCP.

Disepakati bahwa sisa lahan efektif seluas kisaran 16.000 m2 akan dibeli oleh PT SBP seharga 500.000/m2 dan dibayar parsial ke PT CCP sesuai luasan kavling yang terjual kepada konsumen.


# 3. PT SBP JUALAN LARIS MANIS

Dibawah kendali direktur baru, penjualan laris manis. Dalam setahun terjual kisaran 96 unit dengan luasan kavling terjual kisaran 9.400 m2.

Saat terjadi AJB PPAT dengan konsumen, maka pajak pajak yang dibayarkan adalah;

PEMBELI
- PPN (tanah dan bangunan)
- BPHTB

PENGEMBANG
- PPH Final

Atas kesuksesan penjualan tersebut, PT SBP sudah membayar tanah senilai 4,7 Milyar kepada PT CCP.


Deskripsi diatas hanya kata pengantar alias pendahuluan saja. Esensi masalah yang akan menjadi pembelajaran kita bersama adalah sebagai berikut;

BENCANA TERJADI

PT CCP mendapat tagihan pajak sebesar 940 juta, yaitu;

PPN 10% x 9.400 m2 x 500.000
= 470.000.000

Denda 100%
= 470.000.000

Apa yang terjadi???
Rupanya PT CCP mengira bahwa saat dia menerima pembayaran tanah dari PT SBP tidak menjadi obyek PPN. Akibatnya mereka tidak membuka Faktur Pajak kepada PT SBP dan juga tidak membayar PPN 10% x pembayaran tanah yang mereka terima dari PT SBP.

PT CPP tidak paham bahwa sebagai pengembang, saat mereka menjual tanah akan dikenai PPN. Akibatnya, kena denda 100%. Sudah jatuh tertimpa tangga. PT CPP berpendapat bahwa PPN sudah dibayar oleh Pembeli. Padahal itu adalah 2 hal yang terpisah. Masing masing dikenai PPN.


Semoga pembelajaran diatas mudah dipahami, dengan saya ilustrasikan lebih sederhana sbb ;

PT CCP menjual tepung kepada PT SBP.
Lalu PT SBP mengolah tepung tersebut menjadi kue, dan dijual kepada konsumen.

Saat PT CCP menjual tepung, mereka dikenai PPN atas tepung yang dijual.

Saat PT SBP menjual kue, maka pembelinya dikenai PPN atas harga kue nya. Walaupun tepung yang menjadi bahan dasar kue sudah pernah dibayar PPN nya.

KESALAHAN ATAU KELALAIAN PT CCP ADALAH MENGANGGAP BAHWA SAAT JUAL TEPUNG TAK PERLU MEMBAYAR PPN, KARENA PPN DIBAYAR SAAT NANTI JUALAN KUE.

Note;
Kalau anda membeli 'tepung' alias tanah dari petani (bukan pengembang berbentuk PT) maka saat beli 'tepung' tidak menjadi obyek PPN.
Selengkapnya >>

Strategi Harga Properti

Dalam Siklus Hidup Product (life cycle product), masa Introduction adalah masa dimana pertama kali produk anda dirilis ke umum. Itu berarti konsumen serta kompetitor anda sama sekali belum punya gambaran apapun soal produk perumahan anda.

Kali ini saya tak ingin bicara soal strategi PROMOTION, tapi ingin mengupas soal PRICE. Khususnya adalah PRICING STRATEGY yang paling tepat di fase Introduction (perkenalan). Orang awam sering menyebutnya sebagai; masa launching.

Pesan penting yang saya sampaikan adalah;
PASTIKAN BAHWA HARGA JUAL PERDANA PRODUK ANDA LEBIH RENDAH MINIMAL 10% DARI HARGA KOMPETITOR.

Bahkan jika berani, skenariokan sejak awal dalam ACTION PLAN anda, supaya harga jual perdana produk anda adalah 15 - 20% dari harga kompetitor (selevel) yang terdekat.

Jangan tanggung-tanggung. Kalau cuma lebih rendah 5%, tak akan memikat konsumen. Apalagi dengan kondisi progres fisik yang masih minim di lapangan, beda 5% itu hanya menyamakan posisi anda dengan kompetitor. Mungkin malah belum sama valuenya jika ternyata kualitas infrastrukru dan lingkungan milik kompetitor sangat wah..

Jika persaingan dengan kompetitor dalam harga normal saya ilustrasikan ibarat suhu udara 28 derajat celcius, maka lebih rendah 5% hanya akan memberikan suhu SEJUK saja kisaran 26 derajat.

Beda harga 10% lebih rendah memberikan suhu DINGIN kisaran 24 derajat.

Dan berani beda harga 15 - 20% lebih rendah dari harga kompetitor ibarat memberikan suhu SANGAT DINGIN kisaran 16 - 18 derajat yang membuat konsumen merasa nyaman. Saking nyamannya bisa buat tidur sambil selimutan tebal.

Nah, itulah yang saya maksudkan. Buatlah perbedaan yang ekstrem. Ibarat AC, kalau mau dingin jangan tanggung tanggung. Berusahalah agar suhu udara yang anda buat bisa 16 derajat celcius. Jika suhu milik kompetitor masih normal 28 derajat celcius, maka konsumen akan berduyun duyun menuju suhu 16 derajat tanpa peduli apa merk AC anda..

Beda harga yang ekstrem memberikan efek positif sbb ;

1. Progres fisik di lapangan yang masih sangat minim tak menghalangi calon konsumen untuk membeli, karena beda harga yang sangat signifikan.

2. Harga perdana yang menjanjikan potensi keuntungan bagus bukan hanya diburu oleh end user, tapi juga para investor yang berniat mengambil gain atas investasinya membeli properti.

3. Grafik laju penjualan akan menanjak, dan bisa menghasilkan piutang yang lumayan, sehingga ada potensi arus kas masuk yang bisa dipakai untuk membangun infrastruktur. Pada saat kuota lahan yang 'dikorbankan' dengan harga rendah habis, maka progres fisik di lapangan yang bisa dilihat secara visual sudah mengalami peningkatan. Value proyek sudah pasti meningkat.

4. Start yang bagus akan menumbuhkan rasa percaya diri yang besar terhadap mental tim.
5. Proyek yang sudah terbukti laku akan menumbuhkan keyakinan yang lebih besar terhadap calon konsumen berikutnya.

Berdasarkan pengalaman empiris saya, harga lebih rendah 20% dari kompetitor itu identik dengan laba = zero. Atau paling2 dapat margin 5%. Karena itu pastikan bahwa dalam ACTION PLAN yang anda buat, ekspektasi laba hanya dibebankan ke 80% lahan efektif. Karena kuota 20% dikorbankan dengan zero profit.

Saya ingin memberikan statement, tapi sebelumnya mari sama sama dipahami penjelasan ini.

Contoh kasus;
Asumsi luas lahan 2 ha, umur proyek 24 bulan, harga perolehan lahan = Rp 160.000/m2. Perijinan dan pajak2 = Rp 20.000/m2. Total = 180.000/m2. Efektifitas 60% sehingga harga 1 m2 netto = Rp 300.000,-

Maka perhitungan harga jual ke konsumen adalah;

T-36/90

Bangunan = 36 x 1,5 juta = 54 juta.
Tanah mentah efektif = 90 x 300.000/m2 = 27 juta.
Infrastruktur = 90 x 150.000/m2 = 13,5juta.
OHC = 90 x 100.000/m2 = 9 juta.
Sambung listrik, sambung air, split sertipikat, IMB dll = 10 juta.

Laba normal = 90 x 350.000/m2 = 31,5 juta.

TOTAL HARGA (before tax) = Rp 145 juta.
TOTAL HARGA (before tax, tanpa laba) = 113,5 juta.

Berarti lebih murah 21%.

Nah, jika umur proyek diproyeksi 24 bulan, maka 20% penjualan mestinya memakan waktu 5 bulan.
Tapi dengan strategi JURUS DINGIN 16 DERAJAT diatas, kita mampu menjual cepat kuota 20% lahan dalam waktu misal 2 bulan, padahal target 5 bulan. Artinya ada deposit budget 3 bulan yang belum jatuh tempo alokasinya. Itulah yang dipakai buat ngebut mengerjakan infrastruktur. Sebetulnya bisa saya jelaskan breakdown nya, tapi cukup panjaaang. Susah memaparkan cashflow tanpa tabel Excell. Harap maklum.

Saat proyek umur 5 bulan, infrastruktur fisik di lapangan sudah menjanjikan dan layak disurvei konsumen. Dan seandainya harga sudah berada di level normal sekalipun, no problem. Kita siap berkompetisi dengan lawan-lawan kita.

Setelah kita memahami penjelasan diatas, maka statement dari saya adalah;
Kita semua bisa menerapkan strategi diatas asal memahami teknik menyusun ACTION PLAN dengan benar.

Sukses !!!!

Selengkapnya >>

Pemberian Potongan Harga

Dahuluuuuu banget ketika membuat juklak penjualan yang akan saya serahkan kepada Marketing Manager, biasanya saya membagi dalam 3 skim bayar dengan contoh sbb;

TUNAI KERAS, diskon 10%

UTJ Rp 2 juta.
Pelunasan 2 minggu setelah UTJ.

TUNAI BERTAHAP, diskon 7,5%

UTJ 2 juta.
Angs ke-1 (10% - UTJ) dibayar 2 minggu sejak UTJ.
Angs ke-2 (15%) dibayar 1 bulan sejak angs 1
Angs ke-3 (15%) dibayar 1 bulan sejak angs 2
Angs ke-4 (15%) dibayar 1 bulan sejak angs 3
Angs ke-5 (15%) dibayar 1 bulan sejak angs 4
Angs ke-6 (15%) dibayar 1 bulan sejak angs 5
Angs ke-7 (15%) dibayar 1 bulan sejak angs 6

KPR, diskon 5%

UTJ 2 juta
Angs ke-1 (4% - UTJ), dibayar 2 minggu sejak UTJ.
Angs ke-2 (4%) dibayar 1 bulan sejak angs 1
Angs ke-3 (4%) dibayar 1 bulan sejak angs 2
Angs ke-4 (4%) dibayar 1 bulan sejak angs 3
Angs ke-5 (4%) dibayar 1 bulan sejak angs 4
Pelunasan via KPR (80%)

Tetapi juklak seperti diatas dalam perjalanan waktu saya ubah, karena ada beberapa kelemahan yang merugikan kita sebagai pengembang.


DISKON DIGANTI RABAT


Ketika seseorang sudah diberi diskon dimuka yang dituliskan dalam PPJB, hal yang terjadi adalah HAK mereka diterima, tetapi belum tentu KEWAJIBAN dilaksanakan secara tepat waktu.


Pernah terjadi seorang konsumen membayar UTJ dan minta tambahan diskon karena dia mau membayar tunai. Diskon standar 10%, saya beri tambahan 1,5% menjadi 11,5%. Saya bersyukur dia mau membayar tunai karena polisi biasanya (maaf) sulit di acc bank dalam hal KPR.


Tetapi saat jatuh tempo pelunasan yang disepakati 2 minggu sejak UTJ, dia menolak membayar dengan alasan rumahnya belum dibangun kok minta dilunasi. Developer tidak modal dong kalau begitu, bangunnya pakai uang konsumen ..., katanya sambil ngomel-ngomel.

Konsumen tersebut ngotot siap membayar lunas jika bangunan sudah progres 100%. Dan repotnya lagi tak mau menjalankan kewajiban mengangsur apapun sebelum bangunan siap. Meski dia mengaku sudah diberitahu sales bahwa STB nya 6 bulan kedepan. Aduh pak .. !!!???

Sejak kejadian itu, kebijakan soal memberi DISKON dimuka saya ganti dengan sistem RABAT alias potongan harga yang diberikan di belakang.


Teknisnya; saat transaksi dimana konsumen menyatakan akan membayar TUNAI, harga yang diberikan tetap dengan diskon normal. Tapi dari kami memberikan Surat Pernyataan bahwa; Apabila konsumen bisa melunasi pembayaran paling lambat 2 minggu sejak UTJ (kami sebut tanggalnya), maka akan mendapat RABAT sebesar (misal) 5% dari harga jual.


Artinya jika dia tidak melunasi dalam waktu 2 minggu, maka harga transaksi dia tetap dengan diskon normal, dan di dokumen PPJB belum dipotong diskon yang lebih besar.


JANGAN SEBUT PELUNASAN VIA KPR


Dalam skim pembayaran melalui KPR, sebelumnya kami hanya menjadwalkan pembayaran UM saja. Sisa 80% di terakhir kami tuliskan PELUNASAN VIA KPR, tanpa sebutkan jadwal jatuh tempo.


Yang terjadi jika konsumen tidak kooperatif dalam melengkapi berkas KPR dan akad kredit tak kunjung terealisasi, seolah kita diikat dalam sebuah transaksi tak berujung. Mundur mundur terus. Meski sudah ditolak 2 atau 3 bank sekalipun, kami tak berani mengeksekusi pembatalan.


Andai dieksekusi batalpun, ada masalah karena konsumen tak mau dihanguskan sebagian sebagai sanksi pembatalan. Karena mereka menganggap kegagalan mencarikan bank yang membiayai KPR konsumen adalah kesalahan kami sebagai pengembang. Intinya karena ada kalimat PELUNASAN VIA KPR.


Berikutnya kebijakan tersebut saya ganti. Entah KPR atau mau bayar dari dompet sendiri atau pinjam dompet mertua, kami tak mau tahu.


Kami hanya sebutkan jumlah dan jadwal pembayaran yang fix. Kalau telat ya kena denda keterlambatan.


Pelajaran yang bisa diambil;


DISKON BESAR diberikan bukan melihat darimana uang berasal (dompet konsumen, atau dompet mertua konsumen), tapi adalah seberapa cepat uang kita terima.


Ada paradigma yang salah bahwa jika membayar tunai dari kantong konsumen sendiri seolah punya hak minta diskon lebih. Padahal asal kita punya MoU KPR Indent dengan bank, pencairan dari bank terkadang justru lebih cepat diterima ketimbang skim tunai bertahap dari konsumen.


Pelunasan melalui KPR adalah kewajiban konsumen untuk mengurusnya. Karena konsumen membeli rumah di kita dan kita tahunya terima pembayaran.


Seandainya kita membantu urus KPR, itu adalah SERVICE, bukan KEWAJIBAN. Jadi kegagalan mendapatkan bank pemberi KPR semata mata bukan mutlak kesalahan kita.


Aplikasinya; di jadwal pelunasan (misal) 80% yang terakhir, langsung saja ditulis jadwal jatuh temponya. Tak perlu ada embel embel melalui KPR. Terserah darimana konsumen melunasi, itu kewajiban mereka. Kewajiban kita adalah membangun rumah sesuai apa yang kita janjikan dan menyerahkannya apabila kewajiban konsumen juga sudah clear.

Selengkapnya >>

KOMPAS Properti